Lady Bird – Bukan Review Film

Setelah menikmati segelas kopi Mocha di C4 coffee yang terletak di Tuam Street untuk melepas dahaga dan kantuk yang datang bersamaan di siang yang terik tadi, gue berencana untuk menonton film di bioskop. Mau numpang ngadem (nggak numpang juga sih, wong bayar!).

Agak deg-deg pyar melihat batere hp yang sudah merah, mengingat gue bukan orang lokal sini (walaupun ngarep jadi orang lokal sini suatu saat nanti..haha), yang pastinya butuh petunjuk untuk balik ke rumah. Andai bisa mendapat petunjuk dari Tuhan. Jadinya gue screencaptured aja petunjuk jalan dari Google Maps, dari C4 ke Hoytts Cinema Ricarttson, dan dari Hoytts menuju area Spreydon. Rencananya sih mau nonton film Marvel terbaru, Black Panther.

Di jalan menuju bus interchange, tiba-tiba mata gue tertumbuk ke poster-poster film. Bukan film Hollywood, film independen yang judul-judulnya belum pernah gue dengar. Ternyata memang ini Alice Cinema, tempat sewa dvd dan galeri bioskop. Ini memang salah satu tempat di Christchurch yang gue tertarik untuk datangi! Yaayy…no effort at all untuk akhirnya sampai di tempat ini! What a coincidence!

Akhirnya gue memutuskan untuk masuk dan membeli tiket film Lady Bird. Entah siapa pemerannya, sepertinya sama dengan pemeran The Lovely Bones (yang ternyata memang benar!).

Dari awal gue sudah tertarik dengan film Lady Bird setelah membaca sinopsis filmnya. Film ini bercerita tentang Christine, seorang gadis remaja yang merasa hidupnya di “wrong side of track”, karena dia selalu ingin keluar dari kota Sacramento, tempat dia tinggal dari lahir. Christine ingin melanjutkan kuliahnya di New York, untuk mempelajari seni. Bagi gue film ini moving and a bit of sentimental, maybe because some scenes delivered a similar emotions of mine.

Melihat film ini seolah seperti melihat hidup gue sendiri, walaupun nggak sepenuhnya sama. Gue selalu ingin keluar dari Jakarta, kota yang menurut gue seperti neraka kecil. Panas, sesak dan membakar jiwa raga. Gue pengen banget tinggal di luar negeri, minimal Bali atau mungkin juga Yogya. Bukan tinggal di kota besar, tapi di kota yang penduduknya nggak banyak-banyak amat seperti Jakarta, dekat dengan alam namun fasilitas sehari-hari cukup memadai. Kemarin sempat ke Wellington, mungkin kira-kira seperti itu kota yang gue inginkan. Kota yang multi-kultural, dekat dengan alam, fasilitas lengkap, banyak pilihan studio yoga, banyak tempat publik untuk berolahraga dan….artsy. My kind of things. 🙂

Would it be wonderful if we could spend more time on the things we love, with people we care about, the beaches? Walking on the beach when sunset comes, soak up the sun on the fresh warm water, paddling the fiberglass surfboard everyday, hiking wonderful hills. Be grounded to earth.

Kalau boleh ada penyesalan di masa lalu, penyesalan gue adalah: didn’t tried harder to find any opportunities to live abroad, or to live in Bali. Because deep down inside I know, I’m killing myself slowly if I live in Jakarta. And life is so much different when you have to think for other people, not only for yourself.

Now the question is, should I still chase my dreams to go out from Jakarta for good? Could I?

Christchurch, February 16, 2018

Leave a comment